Suatu ketika al-Ghazzali melakukan
perjalanan panjang. Dalam perjalanannya itu ia membawa serta seluruh buku
bacaannya. Konon ditengah jalan tiba-tiba datang segerombolan orang merampok
seluruh bawaan al-Ghazzali, termasuk buku-bukunya. Padahal ia belum membaca
seluruh isi buku itu. Yang telah ia baca pun belum seluruhnya dihafal..
Kejadian itu benar-benar telah menyadarkan
al-Ghazzali, bahwa ilmu itu ada di dalam dada dan bukan dalam tulisan. Sejak
kejadian itu al-Ghazzali bertekad untuk selalu mengingat apa yang telah ia
baca. Yang menarik tentu bukan peristiwa perampokannya, tapi kesimpulan
al-Ghazzali tentang letak ilmu..
Otak adalah motor (engine) yang dikontrol
oleh hati (controller). Bicara ilmu adalah bicara obyeknya (realitas atau
wujud). Luas obyek ilmu adalah seluas realitas (wujud). Maka dari itu realitas
ada empiris dan non-empiris. Diatas dari segala realitas tersebut adalah
Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak..
Demikian pula keimanan yang tidak empiris
(non-empiris) di dalam dada itu dapat disebut realitas juga. Jika realitas
empiris yang melalui proses dapat tercermin dalam pikiran, maka Realitas Mutlak
atau Wujud Mutlak, yaitu Tuhan dapat pula tercermin. Walaupun tidak dengan jalan empiris, Tuhan dapat
diketahui dengan ‘mata hati’, sebab dalam diri manusia telah terdapat naluri
(fitrah) mengenal Tuhan (Ma’rifatullah). Naluri itu diciptakan oleh Tuhan
sebelum manusia lahir melalui ‘syahadah awal’ (mithaq).
Dengan jalan empiris saja manusia telah
dapat mengetahui dirinya sendiri, alam semesta dan Tuhannya. Wujud Tuhan dapat
diketahui secara induktif dari ciptaan-Nya. Ilmu-ilmu empiris tentang ciptaan
Tuhan itu merupakan aspek-aspek yang saling berhubungan dan membentuk
‘kesatuan’ (holistic).
Pada level tertinggi orang akan sampai pada
pandangan (perspektif) bahwa realitas dan Kebenaran itu hanya ‘satu’ dan tidak
plural. Artinya hanya ada satu realitas (wujud) yaitu Wujud Mutlak, Aktor dari
segala wujud yang plural (nisbi/relatif/tidak mutlak)..
Pengetahuan tentang Tuhan dengan jalan non-empiris
dicapai dengan ‘mata hati’ yang ‘penuh cinta’. Jadi, ternyata tempat ilmu
(‘ilm) dan mengenal Tuhan (ma’rifah) adalah sama, yaitu di dalam hati (qalb),
di dada. Berarti tempat aktifitas zikir, fikir, ilmu, iman, amal, cinta dan
akhlaq adalah sama yaitu ‘hati’ (qalb).
Jika semua aktifitas itu 'seimbang'
(balance) maka sampailah seseorang itu pada derajat yaqin.