Oleh:
Dr. A Ilyas Ismail
Sejak
pengujung abad yang lalu hingga sekarang, diskursus mengenai pemimpin atau
kepemimpinan mencuat ke permukaan. Ada dua penyebabnya. Pertama, banyak
pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral. Kedua, mungkin
karena usianya yang makin menua, dunia kita sekarang tak kuasa lagi melahirkan
pemimpin-pemimpin besar (great leader) seperti pada masa-masa terdahulu.
Kenyataan
ini dikeluhkan oleh Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang kontroversial,
“Leadership is Dead: How Influence is Riviving it” (kepemimpinan telah mati:
bagaimana pengaruh yang merupakan inti kepemimpinan bisa dihidupkan kembali).
Dikatakan, pemimpin sekarang lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi
(giving), menikmati (senang-senang), bukan melayani (susah-payah), dan banyak
mengumbar janji, bukan memberi bukti.
Dalam
fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin
adalah kemaslahatan bangsa. Dikatakan tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah
manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh
kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi
kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.
Kaidah
ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW seperti disebutkan dalam
Alquran. Firman Allah, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).
Ada
tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas. Pertama,
azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain).
Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas
kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada
pihak-pihak yang kurang beruntung.
Secara
kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain.
Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun
material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan.
Kedua,
harishun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa).
Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat
yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Tugas pemimpin,
antara lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju
cita-cita dan harapan itu.
Ketiga,
raufun rahim (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan
penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul
itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah
pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat
baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap
kebaikan darinya.”
Bagi
ulama besar dunia, Rasyid Ridha, tiga moral ini wajib hukumnya bagi pemimpin.
Karena, tanpa ketiga moral ini, seorang pemimpin, demikian Ridha, bisa
dipastikan ia tidak bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan diri,
keluarga, dan kelompoknya saja. Maka, betapa pentingnya moral pemimpin. Wallahu
a`lam..