"Manusia mulia adalah manusia yang
mengutamakan wahyu ALLAH dan akalnya dibanding mengikuti hawa nafsunya,"
demikian ungkap Fakhruddin ar-Razi, seorang ulama-intelek yang berwibawa (m.
606 H/ 1210 M). Ia menulis ratusan kitab dalam bidang Tafsir, Fiqih, Ushul
Fiqih, Kalam, Logika, Fisika, Filsafat, Kedokteran, Matematika, Astronomi, dan sebagainya.
Menurut ar-Razi, manusia memiliki hawa
nafsu dan tabiat yang selalu berusaha menggiringnya untuk memiliki sifat-sifat
buruk. Tapi, jika manusia lebih mengutamakan bimbingan wahyu ALLAH dan akal
dibanding hawa nafsunya, maka ia akan jadi mulia. Bahkan, manusia bisa lebih
mulia dari malaikat. Mengapa? Malaikat
selalu bertasbih karena tidak memiliki hawa nafsu, sementara manusia harus
berjuang melawan hawa nafsunya..
Bagi Fakhruddin ar-Razi, kebahagiaan jiwa
atau kenikmatan ruhani lebih tinggi martabatnya dibanding kebahagiaan fisik
atau kenikmatan jasmani, semisal kuliner, seks dan hasrat memiliki materi.
Argumentasinya sebagai berikut:
Pertama, jika kebahagiaan manusia terkait dengan hawa nafsu
dan mengikuti amarah, maka hewan-hewan tertentu --yang amarah dan nafsunya
lebih hebat-- akan lebih tinggi martabatnya dibanding manusia. Singa lebih kuat nafsu amarahnya dibanding
manusia; burung lebih kuat daya seksualnya ketimbang manusia. Tapi, faktanya,
singa dan burung tidak lebih mulia dari manusia.
Kedua, jika makanan atau seksualitas
menjadi sebab diraihnya kebahagiaan dan kesempurnaan, maka seseorang yang makan
terus menerus akan menjadi manusia paling sempurna atau paling bahagia. Tapi, seorang yang makan terus menerus dalam jumlah berlebihan, justru akan membahayakan
dirinya. Jadi, sebenarnya makan adalah
sekadar untuk memenuhi kebutuhan jasmani, bukan menjadi penyebab pada
kebahagiaan atau pun kesempurnaan manusia.
Ketiga, manusia sebagaimana hewan merasakan
kenikmatan saat makan dan minum. Jika makan menjadi sebab pada kebahagiaan,
maka manusia tidak akan menjadi lebih tinggi derajatnya dibanding hewan. Bahkan
manusia bisa lebih rendah dari hewan jika kebahagiaan manusia diidentikkan
dengan kenikmatan jasmani. Sebab, manusia dengan akalnya menyadari, kenikmatan jasmani tidaklah sempurna.
Sedangkan hewan, tidak bisa menyadarinya karena hewan tidak bisa berfikir
tatkala sedang dalam kenikmatan jasmani.
Keempat, kenikmatan jasmani sejatinya
bukanlah kenikmatan yang sebenarnya. Seseorang yang sangat lapar, akan segera
merasakan nikmat yang tinggi jika ia segera makan. Sebaliknya, seseorang yang
sedikit laparnya, sedikit pula rasa nikmatnya ketika ia makan. Seseorang
merasakan kenikmatan berpakaian saat ia merasa terlindung dari rasa dingin dan
panas. Ini menunjukkan, nikmat jasmani bukanlah kenikmatan yang
sesungguhnya. Jiwanyalah yang merasakan kebahagiaan, dan kebahagiaan jiwa
bukanlah kenikmatan jasmani.
Kelima, manusia layaknya hewan, makan,
minum, tidur, melakukan aktivitas
seksual, dan terkadang ‘menyakiti’ yang lain. Namun, manusia lebih mulia dari
hewan. Jika demikian, maka kesempurnaan dan kebahagiaan manusia mustahil sama
dengan kenikmatan jasmani hewan.
Keenam, para malaikat lebih mulia dari
hewan. Malaikat tidak makan dan tidak
minum. Kesempurnaan ALLAH, Sang Pencipta, juga tidak terletak sama sekali pada
hal-hal yang terkait dengan kebutuhan jasmani. Kemuliaan ALLAH terletak bukan
pada kebutuhan jasmani. Dalam suatu hadist Nabi disebutkan, supaya manusia berakhlaq dengan akhlaq ALLAH.
Tentunya memperbanyak kebajikan dan kebijaksanaan akan menjadikan akhlaq
terpuji. Kemuliaan manusia bukan dengan memperbanyak makan dan minum.
Ketujuh, orang yang memandang kebahagiaan
dan kemuliaan bukan pada aspek jasmani, akan memandang orang yang berpuasa,
menahan diri dari makan, minum dan hawa nafsu, sebagai seorang yang memiliki
aura spiritual yang tinggi. Sebaliknya,
jika seseorang menyibukkan dirinya hanya dengan makanan, seks, dan mengabaikan
ibadah dan ilmu pengetahuan, maka orang tersebut dipandang rendah. Ini
menunjukkan kenikmatan jasmani bukanlah kenikmatan hakiki yang mulia.
Kedelapan, jika segala sesuatu pada dirinya
adalah kesempurnaan dan kebahagiaan, maka seseorang tidak akan malu untuk
menunjukkannya. Orang itu justru bangga jika dapat mengerjakannya. Kita paham, orang berilmu tidak akan bangga
dengan makanannya dan nafsu-nafsu syahwat lainnya. Ini sekali lagi menunjukkan
nikmat jasmani bukanlah sesuatu yang mengantarkan kepada kebahagiaan dan
kesempurnaan.
Kesembilan, hewan yang kerjanya hanya makan
dan minum serta malas untuk berlatih, maka ia akan dijual murah. Sebaliknya,
hewan yang makan dan minum serta mau berlatih keras, maka akan dijual dengan
harga yang tinggi. Kuda yang ramping, berlari kencang, lebih mahal harganya
dibanding kuda yang gemuk dan malas untuk berjalan. Jika kuda yang berlatih
dihargai lebih mahal, apalagi kepada makhluk hidup yang berakal. Jika manusia
berlatih, berkerja dan melakukan kebajikan, pasti lebih tinggi nilainya.
Kesepuluh, penduduk yang tinggal jauh dari
keramaian, dari kemajuan zaman, dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka penduduk tersebut dianggap lebih rendah dari penduduk yang terbiasa
dengan beribadah, berbuat baik dan maju dalam sains dan teknologi. Ini
menunjukkan jika kesempurnaan diraih bukan dengan makan, minum dan seksual.
Tapi, diraih dengan ilmu pengetahuan dan sifat-sifat baik yang mulia.
Menurut Fakhruddin ar-Razi, jika manusia hanya sibuk dengan kenikmatan
jasmani, maka daya spiritualitasnya akan rendah dan intelektualitasnya
tertutup. Ia akan tetap diliputi dengan
nafsu kebinatangan, bukan dengan kemanusiaan. Padahal esensi kemanusiaan yang
sebenarnya adalah menyibukkan diri kepada ALLAH, Yang Maha Agung, supaya ia
menyembah-Nya, mencintai-Nya dengan
sepenuh jiwa raganya. Kesibukan dengan kenikmatan duniawi akan menghalanginya
dari beribadah dan mengingat-Nya. Cinta kepada kenikmatan jasmani akan
menghalanginya untuk meraih Cinta kepada Sang Khalik.
Pemikiran Fakhruddin ar-Razi tentang konsep
manusia yang mulia sungguh sangat inspiratif. Di tengah-tengah merebaknya
pemujaan terhadap budaya kuliner, hedonis, materialis, pornoaksi dan
pornografi, pemikirannya mengingatkan kita bahwa kenikmatan ruhani, kebahagiaan
jiwa, kecintaan untuk meraih ilmu pengetahuan, melakukan ibadah, menjauhi
kemaksiatan, melakukan kebajikan dan mencintai ALLAH dengan segenap jiwa dan
raga, adalah esensi kemanusiaan..
Sebaliknya, cengkeraman hawa nafsu yang menjebak manusia hanya memperbanyak
kenikmatan jasmani akan menjauhkannya dari Sang Maha Pencipta..