Nikmat
dan karunia Allah yang diberikan kepada umat-Nya, termasuk kepada bangsa ini,
sungguh tak terbatas dan tidak akan pernah bisa dihitung tuntas. Namun, hari
demi hari, waktu demi waktu, tampaknya warga bangsa ini, termasuk para
pemimpinnya, tidak kunjung cerdas dalam mensyukuri nikmat-Nya. Para pemimpin
yang sudah bergelimang dengan fasilitas mewah ternyata masih mengeluh dan
mengeluh.
Secara
psikologis, orang yang mengeluh itu pertanda sedang menderita sakit. Orang yang
banyak mengeluh itu pada dasarnya terkena gangguan mental. Sebaliknya, orang
yang banyak bersyukur itu pertanda sedang dalam keadaan sehat. Karena itu,
bersyukur itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sehat rohaninya.
Menurut
Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, Madarij as-Salikin, syukur itu tampak pada bibir
hamba dengan mengakui dan memuji keagungan Tuhannya, dalam hatinya dengan
semakin meyakini dan mencintai-Nya, dan pada anggota badannya dengan semakin
tunduk, khusyuk, dan taat kepada-Nya.
Cerdas
bersyukur ada tiga hal. Pertama, mengakui (i’tiraf) nikmat pemberian Allah dalam
hatinya. Hati yang cerdas dan ikhlas tidak akan pernah berdusta terhadap segala
anugerah yang diberikan oleh-Nya. Bersyukur harus dimulai dari kesucian hati
untuk mengakui sifat Allah yang Maharahman dan Rahim. Melalui pengakuan tulus
ini, hamba belajar menjadi pengasih dan penyayang serta tidak menyia-nyiakan
kasih sayang-Nya.
Kedua,
memuji Sang Pemberi Nikmat (Mun’im) dan membagi pemberian itu dalam bentuk
perkataan dan pembaruan (tahdits) maupun perbuatan dan keteladanan (QS ad-Dhuha
[93]: 11). Bersyukur bukan sekadar mengucapkan alhamdulillah, melainkan juga
harus disertai dengan pendayagunaan kenikmatan itu sesuai dengan tujuan
diberikannya nikmat itu.
Ketiga,
menundukkan kenikmatan (taskhir al-ni’am) untuk ketaatan, bukan untuk
kemaksiatan. Diberi indera pendengaran disyukuri dengan selalu mendengarkan
yang positif. Mata dimanfaatkan untuk melihat yang baik-baik. Akal dimanfaatkan
untuk berpikir positif dan kreatif. Kesehatan untuk kebaikan dan kemaslahatan.
Diamanati jabatan sebagai pemimpin, bisa dijalankan dengan penuh tanggung jawab
dan kejujuran.
Jadi,
cerdas bersyukur itu membuahkan ketaatan sekaligus kenikmatan. “Melaksanakan
shalat itu bersyukur, berpuasa juga bersyukur, dan melaksanakan segala kebaikan
karena mengharap rida Allah adalah syukur. Syukur yang paling utama adalah
memuji Sang Pemberi Nikmat.” (HR Ibnu Jarir).
Cerdas
bersyukur merupakan salah satu kunci kesuksesan hidup. Orang yang bersyukur
pasti berusaha menjadikan kualitas hidupnya meningkat atau menjadi lebih baik.
(QS Ibrahim [14]: 7).
Orang
yang bersyukur akan senantiasa melihat segala hal secara jernih, objektif,
cerdas, dan penuh kebersyukuran sehingga hatinya tenang, tidak waswas, tidak
merasa ada ancaman atau biasa-biasa saja. Jika salah satu Asma’ al-Husna itu
as-syakur (Maha Bersyukur), sudah semestinya kita sebagai hamba-Nya lebih tahu
diri lagi untuk banyak bersyukur atas kemurahan dan karunia-Nya. Wallahu a’lam