Oleh:
Prof Dr Yunahar Ilyas
Khalifah
Umar bin Khattab mengangkat Said bin Amir menjadi gubernur di Provinsi Himash.
Ia pun datang menghadap khalifah bersama satu delegasi dari provinsi tersebut.
Umar meminta mereka menuliskan daftar fakir miskin dari Himash yang berhak
diberi bantuan dari kas negara. Umar heran karena di antara nama yang ditulis
terdapat nama Said bin Amir. "Siapa Said bin Amir ini?" tanya Umar.
"Gubernur kami," jawab mereka. "Apakah gubernur kalian
fakir?" selidik Umar. Mereka membenarkan, "Demi ALLAH, kami jadi
saksi." Umar menangis, kemudian memasukkan seribu dinar ke dalam sebuah
kantong dan meminta mereka menyerahkannya kepada sang gubernur.
Menerima
sekantong uang berisi seribu dinar, Said langsung membaca: Inna lillahi wa inna
ilaihi raji'un, seolah satu musibah besar menimpanya. Istri gubernur bertanya:
"Apa yang terjadi? Apakah Amirul Mukminin wafat?" "Lebih besar
dari itu," jawab Said. "Telah datang dunia kepadaku untuk merusak
akhiratku." "Bebaskan dirimu dari malapetaka itu," saran
istrinya, tanpa mengetahui bahwa malapetaka itu adalah uang seribu dinar. Said
bertanya: "Apakah kamu mau membantuku?" Istrinya mengangguk. Ia
meminta istrinya untuk segera membagikan seribu dinar itu untuk fakir miskin,
tanpa sisa untuk keluarganya.
Sekian
lama berlalu, Umar mengunjungi Said bin Amir. Sudah menjadi kebiasaannya, jika
berkunjung ke suatu provinsi, mengadakan dialog terbuka antara masyarakat,
gubernur, dan dirinya sendiri. Dialog tersebut bertujuan untuk mengetahui
langsung aspirasi masyarakat dan keluhan mereka terhadap pelayanan gubernur.
Ada tiga keluhan masyarakat terhadap sang gubernur. Setiap keluhan disampaikan,
Umar meminta Said menjawabnya.
Pertama,
Said selalu masuk kantor setelah matahari tinggi. Kedua, Said tidak bersedia
menerima kedatangan siapa pun menghadapnya pada malam hari. Ketiga, tidak
menerima tamu satu hari dalam setiap bulan.
Sebenarnya,
Said malu berterus terang, tetapi untuk
menghilangkan salah paham, ia pun rela menjelaskannya secara terbuka. Pertama,
keluarganya tidak punya pembantu. Setiap pagi, dirinya membuatkan roti untuk
keluarganya sehingga setelah matahari tinggi baru bisa bekerja melayani masyarakat.
Kedua, siang hari dia menyediakan waktu melayani masyarakat, tetapi malam hari
adalah waktu khususnya untuk ALLAH SWT. Ketiga, satu hari dalam sebulan dia
tidak keluar melayani masyarakat karena hari itu dia harus mencuci pakaiannya.
Mendengar penjelasan Said, Umar berkata: "Alhamdulillah, penilaianku tidak
salah terhadapmu."
Demikianlah
sikap hidup zuhud sang gubernur yang sebenarnya juga tidak jauh dari gaya hidup
atasannya sendiri, yaitu Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Semoga kisah yang
dapat kita baca dalam buku Al-'Arabiyah li an-Nasyi'in ini dapat menjadi
renungan bagi kita semua.