Di sebelah timur masjid
Nabawi Madinah, tampak sebuah bangunan yang akan membuat kita takjub, terpesona
karena kesederhanaannya. Itulah tempat tinggal Rasul Agung Muhammad saw. Rumah
itu sangat kecil dengan hamparan tikar usang dan nyaris tanpa perabot.
Zaid bin Tsabit bertutur,
“Anas bin Malik pelayan Rasulullah pernah memperlihatkan kepadaku tempat minum
Rasulullah yang terbuat dari kayu yang keras dan di patri dengan besi. Kemudian
Anas berkata kepadaku, ‘Wahai Tsabit, inilah tempat minum Rasulullah. Dengan
gelas kayu inilah Rasulullah minum air, perasan kurma, madu dan susu.’” (HR
Tirmidzi)
Benda lain yang dimiliki
Rasulullah adalah baju besi yang biasa dipakai saat berperang. Tetapi tak lama
setelah beliau wafat baju besi itu digadaikan kepada seorang Yahudi dengan
beberapa karung gandum, seperti yang pernah diriwayatkan Aisyah.
Soal tempat tidur Rasulullah
SAW, Ummul Mu’minin, Aisyah RA menggambarkan bahwa suaminya itu tidak tidur di
tempat yang mewah. “Sesungguhnya hamparan tempat tidur Rasulullah SAW terdiri
atas kulit binatang, sedang isinya adalah sabut korma.” (HR At-Tirmidzi)
Hafshah saat ditanya, “Apa
yang menjadi tempat tidur Rasulullah saw?” Ia menjawab, “Kain dari bulu yang
kami lipat dua. Di atas itulah
Rasulullah tidur. Pernah suatu malam aku berkata (dalam hati): sekiranya
kain itu aku lipat menjadi empat lapis, tentu akan lebih empuk baginya. Maka
kain itu kulipat empat lapis.”
Manakala waktu subuh, cerita
Hafsah, Rasulullah saw mengatakan, “Apa yang engkau hamparkan sebagai tempat
tidurku semalam?” Aku menjawab, itu adalah alas tidur yang biasanya Nabi pakai,
hanya saja aku lipat empat. Aku kira akan lebih empuk” Rasulullah saw membalas,
“Kembalikan kepada asalnya. Sungguh, disebabkan empuknya, aku terhalang dari
shalat di malam hari” (HR At-Tirmidzi)
Cerita tentang tempat tidur
Rasulullah saw juga pernah menyembabkan Umar bin Khatab menangis. Padahal, Umar
bin Khatab terkenal sebagai pemuda yang gagah perkasa sehingga disegani banyak orang
baik dari kalangan lawan maupun kawan.
Bahkan konon, dalam satu
riwayat, Nabi menyebutkan kalau setan pun segan dan takut dengan Umar. Kalau
Umar sedang lewat di suatu jalan, setan pun menghindar dari jalan yang
dilaluinya dan memilih lewat jalan yang
lain.
Keperkasaan Umar sudah menjadi buah bibir di
kalangan umat Islam. Karena itu, fenomena Umar menangis menjadi peristiwa yang
sangat mengherankan.
Mengapa "Singa Padang
Pasir" ini sampai menangis? Umar pernah meminta izin menemui Rasulullah saw.
Umar mendapati Rasulullah sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar.
Sebagian tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantalkan pelepah
kurma yang keras.
“Aku ucapkan salam kepadanya
dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup menahan tangisku” ujar Umar bin
Khattab.
Rasulullah yang mulia pun
sampai bertanya kepada Umar, "Mengapa Engkau menangis, wahai Umar?"
“Bagaimana aku tidak
menangis, wahai Rasulullah. Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuh
engkau, padahal Engkau ini Nabi ALLAH dan kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang
aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan Kaisar duduk di singgasana emas dan
berbantalkan sutera"
Lalu Nabi saw berkata,
"Mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga, sebuah kesenangan
yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita
untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang
bepergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian
berangkat dan meninggalkannya" ujar Rasul saw.
Baginda Nabi Muhammad saw hidup
dengan sangat zuhud. Seperti dituturkan oleh Aisyah, betapa Rasulullah hanya
mempunyai dua baju, tidur di atas daun pelepah kurma, perutnya selalu lapar,
bahkan pernah diganjal dengan batu, dan sangat sedikit tidur.
Rasulullah juga mengerjakan
sendiri pekerjaan rumahnya, menambal baju sendiri, dan memerah kambingnya
sendiri. Seperti itulah pekerjaan keseharian Rasululah, selalu memenuhi
kebutuhan pribadinya secara mandiri, tanpa membebani keluarga atau orang lain.
Jika Beliau mau tentulah sangat mudah menggantikan pekerjaan itu kepada orang
lain, karena Beliau adalah kepala rumah tangga sekaligus kepala negeri Arab
pada saat itu.
Sesibuk apapun Beliau ketika
Bilal sudah mengumandangkan adzan, Beliau bergegas ke masjid dan menjadi imam.
Selama hidupnya Belum pernah beliau meninggalkan jamaah di masjid kecuali hari
dimana beliau dipanggil menghadap ALLAH karena sakit.
Dalam suatu kisah Rasulullah:
Suatu hari ‘Umar bin
Khaththab ra menemui Nabi saw. di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau
tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah digerogoti
oleh kemiskinan (lapuk).
Tikar membekas di belikat
beliau, bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan kulit samakan
membekas di kepala beliau.
Di salah satu sudut kamar
itu terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh
(semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).
Maka, air mata ‘Umar bin
Khaththab ra meleleh dan ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan
kondisi Nabi saw..
Lalu Nabi saw. bertanya
sambil melihat air mata ‘Umar ra yang berjatuhan, “Apa yang membuatmu menangis,
Ibnu Khattab?”
‘Umar ra menjawab dengan
kata-kata yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar,
“Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas
di belikat Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan
kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan
dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan
manusia pilihan ALLAH”
Lalu Nabi saw. menjawab
dengan senyum tersungging di bibir beliau, “Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan
mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita
adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika
akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?”
‘Umar menjawab, “Aku rela.”
(HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain
disebutkan: ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang
lebih lembut dari tikar ini”
Lalu, Nabi saw. menjawab
dengan khusyuk dan merendah diri, “Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan
diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari
di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan
meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Jika kehidupan tauladan kita
saja sangat sederhana, bahkan jauh di bawah kita, mengapa kita yang masih dapat memikirkan
makanan apa yang akan di makan besok lalu mengeluh mengenai kekurangan secara
materi yang terkadang tak beralasan. Karena kata Rasulullah pun kebaikan sejati
untuk umat muslim di tunda atau bukan di dunia melainkan di akhirat kelak.
Karena Allah Maha Mengetahui, bahwa dunia adalah persinggahan. Jadi tak perlu
menggadaikan akhirat yang lebih kekal dengan kebaikan yang berlimpah yang telah
Allah persiapkan bagi orang beriman dengan kemewahan dunia yang hanya
sementara.
Jauh berbeda apa yang saya
lihat di zaman ini, pemimpin (yang notabene adalah wakil rakyat) justru
mendapat fasilitas yang sangat mewah. Terlebih lagi dengan apa yang di dapat,
mereka tak pernah merasa cukup. Bahkan terus menerus berusaha memperkaya diri
dengan berbagai cara. Berbeda dengan rakyat yang mereka pimpin, begitu
menderita. Bahkan tembok harta telah membuat batas yang tak bisa di bendung saking
tebalnya. Sangat berbeda dengan pemimpin kita Rasulullah Muhammad
Shallahu’alaihi wassalaam.
Salah satu penyebab mengapa
banyaknya ketimpangan sosial yang terjadi adalah sifat malu yang teramat
sangat. Memang benar malu adalah sebagian daripada iman. Tapi malu yang
bagaimana? Jikalau malu untuk berbuat maksiat kepada ALLAH itu bisa di sebut
malu yang merupakan sebagian daripada iman. Tapi malu yang tidak diperbolehkan
yaitu malu untuk hidup sederhana. Mengapa ?? karena bisa saja dengan bersikap
sederhana meskipun ALLAH menganugerahkan harta yang berlimpah dapat mengurangi
kesenjangan sosial. Misalnya, tak ada lagi ajang pamer kemewahan di jalan raya
dengan berlomba mengendarai transportasi yang canggih, pakaian-pakaian mewah
dengan perhiasan mentereng atau telepon genggam mahal yang berseliweran di
jalan yang mampu mengundang para penjambret dadakan (karena terkadang mereka
para penjambret bukan sengaja melakukan kejahatan tapi terpaksa karena
terdorong ekonomi yang sulit) untuk beraksi. Karena sederhana bukan berarti
hina. Dengan kesederhanaan kita mampu merasakan apa yang terjadi pada
orang-orang yang kurang beruntung di banding kita. Selain itu akan melatih hati
kita untuk peka akan keadaan sekitar. Sesungguhnya ujian bukan hanya melalui
kesulitan tapi juga bisa melalui harta berlimpah. Jika tak pandai kita
mengelolanya maka bencana yang akan di dapat.
Karena ALLAH hanya melihat
seseorang dari ketaqwaannya dan bukan dari melimpahnya harta yang di miliki.
Orang yang sebenarnya kaya adalah orang yang sederhana namun memiliki sifat
mulia. Bahkan harta tak mampu membuatnya berpaling dari ALLAH.