Kejujuran adalah
tanda bukti keimanan. Orang mukmin pasti jujur. Kalau tidak jujur, keimanannya
sedang terserang penyakit kemunafikan.
Seorang mukmin tidak
mungkin melakukan kebohongan. Kejujuran adalah
pangkal semua perbuatan baik manusia. Tidak ada perbuatan
dan ucapan baik kecuali kejujuranlah yang mendasarinya. Oleh sebab itu,
ALLAH menyuruh orang-orang mukmin agar selalu berkata benar dan jujur.
"Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kamu kepada ALLAH dan katakanlah perkataan yang
jujur/benar" (Al
Qur'an | Al-Ahzab [33]: 70)
Rasulullah SAW
bersabda: "Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada
kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga" (HR Ahmad, Muslim,
at-Turmuzi, Ibnu Hibban)
Kejujuranlah yang
menjadikan Ka'b bin Malik mendapat ampunan langsung dari langit sebagaimana
ALLAH jelaskan dalam surah at-Taubah. Kejujuranlah yang menyelamatkan bahtera
kebahagiaan keluarga dan kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang Muslim
dari siksa api neraka di kemudian hari. Kejujuran adalah tiang agama, sendi
akhlak, dan pokok kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran, agama tidak lengkap,
akhlak tidak sempurna, dan seorang manusia tidak sempurna menjadi manusia.
Di sinilah urgensinya
kejujuran bagi kehidupan. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Tetap berpegang
eratlah pada kejujuran. Walau kamu seakan melihat kehancuran dalam berpegang
teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di dalam kejujuran itu terdapat
keselamatan" (HR Abu Dunya)
“Terkutuklah orang
yang banyak berdusta” (Al Qur'an | Adz dzaariyaat: 10)
Dari Abdullah (bin
Mas’ud) ra. berkata, “Rasulullah SAW. bersabda: “Hendaklah kalian berlaku
jujur, sebab kejujuran itu mengantar kepada kebaikan dan kebaikan itu mengantar
ke surga dan senantiasa orang itu berlaku jujur dan terus menerus berlaku jujur
sehingga dicatat di sisi Allah selaku orang yang jujur. Dan janganlah kalian
berlaku dusta, sebab dusta mengantar kepada kedurhakaan dan kedurhakaan itu
mengantar kepada neraka, dan senantiasa orang itu yang berdusta dan terus
menerus berdusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR Bukhari
Muslim)
Pelajaran Hadits:
Rasulullah SAW
memerintahkan umatnya untuk selalu berkata dan berbuat jujur karena kejujuran
akan mendatangkan kebaikan. Beliau juga memerintahkan umatnya untuk menjauhi
kebohongan karena kebohongan akan mendatangkan kedurhakaan..
Dahulu orang-orang
Quraisy berpikir bahwa Nabi Muhammad SAW berdusta, karena Beliau bisa melakukan
Isra’ (perjalanan dari Mekah menuju Al Aqsa) dalam waktu kurang dari semalam..
Kendaraan tercepat
waktu itu hanyalah onta, yang biasa mengantar seseorang dari Mekah menuju
Palestina dalam waktu 2 bulan pulang pergi.
Jadi kesimpulan
orang-orang Quraisy, mana mungkin ada manusia yang bisa pulang pergi begitu
singkat laksana kilat, pasti Beliau itu berdusta..karena waktu itu orang-orang
Quraisy cuma menggunakan pengetahuan logika semata..
Faktanya sekarang
kalau mau pergi haji saja, cukup dengan perjalanan 10 jam dari tanah air sampai
ke Medinah atau Jeddah. Karena teknologi sekarang ada pesawat yang bisa
mengantar manusia demikian cepat. Jadi, bukan hal mustahil pada zaman Nabi
dahulu, Beliau naik kendaraan (buraq) yang bahkan lebih cepat dari pesawat
supersonic, dll..
Jika kita hanya
menerima pengetahuan logika semata tanpa di ’selaras’ kan dengan menerima
pengetahuan wahyu, kita bisa terjebak memfitnah & menuduh Beliau berdusta
karena tidak mungkin (mustahil) menurut pengetahuan logika semata (tanpa
wahyu)..
Padahal kenyataannya
Beliau adalah ‘manusia yang paling jujur’ sehingga digelari al-amin. Bahkan
sejak muda nya Beliau paling terkenal dengan kejujurannya di seantero Arab,
jauh sebelum Beliau diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun..
“Akal tanpa Wahyu
seperti Ilmu tanpa Iman..”
Janganlah karena
terlalu mendewakan akal sehingga lantas melupakan Yang Menciptakan akal itu
sendiri..
Jujur Itu Bahagia
Banyak orang mengejar
kebahagiaan di balik kemegahan materi. Padahal, itu semua hanyalah kesemuan
belaka. Kalau ingin bahagia jujurlah. Jujur kepada Allah sebagai hamba-Nya,
jangan basa-basi dan jangan setengah-setengah. Jujur sebagai suami, maka selalu
menjauhi dosa dan memberikan nafkah secara halal dan maksimal.
Jujur sebagai istri,
maka selalu menjaga kehormatan diri dan harta suami dan benar-benar menjadi
tempat berteduh bagi suami. Jujur sebagai pemimpin, maka selalu menjunjung
tinggi asa musyawarah dan bekerja keras untuk menegakkan keadilan dan
memastikan kesejahteraan rakyatnya.
Bila kejujuran
seperti tersebut di atas terwujud, banyak hikmah yang akan dipetik:
Pertama, jujur akan
mengantarkan ke surga. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kejujuran akan
mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan mengantarkan ke surga... dan
sungguh kebohongan akan mengantarkan kepada dosa, dan dosa akan mengantarkan
kepada neraka...” (HR Bukhari-Muslim).
Berdasarkan ini,
jelas bahwa tidak mungkin kebaikan akan datang jika manusia yang berkumpul di
dalamnya adalah para pembohong dan pendusta. Bila di tengah mereka menyebar
kebohongan, otomatis dosa akan semakin merajalela. Bila dosa merajalela,
jaminannya adalah neraka.
Kedua, jujur akan
melahirkan ketenangan. Rasulullah SAW bersabda, “... maka sesungguhnya
kejujuran adalah ketenangan dan kebohongan adalah keraguan...” (HR Turmidzi).
Orang yang selalu jujur akan selalu tenang sebab ia selalu membawa kebenaran.
Sebaliknya, para pembohong selalu membawa kebusukan dan kebusukan itu membawa
kegelisahan akibat kebusukannya. Ia akan selalu dihantui dengan kebohongannya
dan takut hal itu akan terbongkar. Dan, bila seorang pembohong seperti ini
menjadi pemimpin, ia tidak akan sempat mengurus rakyatnya karena sibuk
menyembunyikan kebusukan dalam dirinya.
Ketiga, jujur disukai
semua manusia. Abu Sufyan pernah ditanya oleh Heraklius mengenai dakwah
Rasulullah SAW. Abu Sufyan menjelaskan bahwa di antara dakwahnya adalah
mengajak berbuat jujur. (HR Bukhari-Muslim).
Rasulullah SAW
terkenal sebagai manusia yang paling jujur. Bahkan, sebelum kedatangan Islam,
beliau sudah masyhur sebagai orang yang jujur. Orang-orang kafir Makkah pun
mengakui kejujuran Rasulullah SAW sekalipun mereka tidak beriman. Bahkan,
mereka memberi gelar "Al-Amin" (orang yang tepercaya) kepada
Rasulullah. Selain itu, mereka juga selalu menitip kan barang berharga kepada
beliau.
Keempat, jujur akan
mengantarkan pelakunya pada derajat tertinggi. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa
yang memohon dengan jujur untuk mati syahid, (maka ketika ia wafat) ia akan
tergolong syuhada sekalipun mati di atas kasurnya.” (HR Muslim)
Kelima, jujur akan
mengantarkan pada keberkahan. Nabi Muhammad bersabda, "Pembeli dan
pedagang jujur dalam bertransaksi dagang, maka akan diberkahi Allah.
Sebaliknya, jika menipu, Allah akan mencabut keberkahan dagangannya." (HR
Bukhari Muslim)
Seorang mukmin tidak
cukup hanya jujur dalam ucapan dan perbuatan, tapi harus jujur dalam niat
sehingga semua ucapannya, perbuatannya, kebijakannya, dan keputusannya harus
didasarkan atas tujuan mencari mardlotillah. Kejujuran inilah yang
mendorong Umar bin Khattab memiliki tanggung jawab luar biasa dalam memerintah
khilafah Islamiyah sehingga pernah berkata: "Seandainya ada seekor keledai
terperosok di Baghdad (padahal beliau berada di Madinah), pasti Umar akan
ditanya kelak: "Mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?"
Jujur Tanda Sehat
Sebuah penelitian di
Norte Dame menemukan manfaat nyata mengurangi kebohongan untuk kesehatan.
Seperti ditulis Health News Daily, penelitian ini dilakukan pada 110
responden, dan setengah dari mereka dilarang untuk berbohong selama sepuluh
minggu. Sementara separuh lainnya tidak diberikan instruksi ini.
“Mereka yang berada
dalam kelompok kedua, sering mengeluhkan sakit kepala, sakit tenggorokan,
ketegangan, dan kecemasan” papar Anita Kelly, profesor psikologi yang ikut dalam
penelitian tersebut.
kejujuran dapat
menurunkan efek gangguan kesehatan mental dan fisik..memberi pengaruh
signifikan pada kesehatan.
“Berbohong dapat
menyebabkan stres, ini memberikan kontribusi terhadap kecemasan dan bahkan
depresi” kata Dr. Bryan Bruno, psikiatri di Lenox Hill Hospital, New York City.
Hikmah Berkata Jujur
Ka’ab bin Malik RA
adalah salah satu sahabat Nabi SAW yang tidak ikut berperang dalam Perang
Tabuk. Penyebabnya, karena terlena dengan urusan dirinya yang menjadikan ia
tertinggal dan tidak ikut berperang bersama Nabi SAW.
Ketika perang selesai
dan berita kepulangan Nabi SAW tersiar, Ka’ab dihantui kerisauan.
Terbetik dalam dirinya untuk berbohong, agar terhindar dari kemarahan
Rasulullah SAW. Namun, ia tak berani berbohong. Ia membulatkan tekad untuk
berkata jujur.
Setelah Nabi SAW
tiba, Ka’ab segera menghadap Nabi SAW. Beliau tersenyum hambar sambil
memalingkan wajahnya yang mulia. Ka’ab berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah
berpaling dari saya. Demi ALLAH, saya bukanlah orang munafik dan saya
meyakini keimanan saya.” Beliau bersabda,“Kemarilah, mengapa engkau tidak ikut
berperang, bukankah engkau sudah membeli unta sebagai kendaraan?”
Ka’ab pun menjawab,
“Ya Rasulullah, kalau kepada orang lain sudah tentu saya dapat memberikan
berbagai alasan agar ia tidak marah, karena ALLAH telah mengaruniakan kepada
saya kepandaian berbicara. Tetapi kepada engkau, walaupun saya dapat memberikan
keterangan dusta yang dapat memuaskan hatimu, sudah tentu ALLAH akan murka
kepadaku.”
Ka’ab menambahkan,
“Sebaliknya jika saya berkata jujur sehingga engkau marah, saya yakin ALLAH
akan menghilangkan kemarahan engkau. Maka, saya akan berkata dengan sejujurnya.
“Demi ALLAH, saya tidak memiliki halangan apa pun. Seperti halnya orang lain, saya
berada dalam keadaan lapang dan bebas. Bahkan, pada saat ini saya memiliki
kesempatan yang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya.”
Rasulullah SAW
bersabda, “Engkau telah berkata jujur, berdirilah, ALLAH akan memutuskan segala
urusanmu.” Setelah itu, Ka’ab meninggalkan Nabi SAW dan pulang ke rumahnya.
Dalam masa penantian menunggu keputusan ALLAH SWT, Ka’ab dilarang berbicara
pada siapa pun dan ia juga diperintahkan untuk menjauhi istrinya.
Orang-orang pun
menjauhinya dan mengucilkannya seakan-akan dunia menolaknya. Bukan hanya itu,
saudaranya pun tidak mau berbicara kepadanya dan bahkan ada orang yang
mengajaknya keluar dari agama Islam. Semua ini menjadikan Ka’ab sangat
bersedih.
Pada hari yang ke-50,
kabar gembira pun datang kepadanya, bahwa ALLAH menerima tobat Ka’ab dan dua
sahabatnya. Dengan hati gembira Ka’ab datang menghadap Nabi SAW. Beliau
bersabda, “Bergembiralah dengan meraih saat yang penuh kebaikan, yang belum
pernah kau lalui sejak engkau dilahirkan ibumu.”
Sebagai rasa syukur Ka’ab
pun menyedekahkan sebagian hartanya dan ia berkata, “Ya Rasulullah, ALLAH
sungguh telah menyelamatkan diriku dengan kejujuran, maka sebagai bagian dari
pertobatanku, aku tidak akan berbicara kecuali dengan kejujuran selama sisa
hidupku.”
Kejujuran adalah
kesesuaian amal dengan tuntunan perintah-perintah syariat. Semoga kisah
ini menjadi teladan bagi kita untuk berlaku jujur dalam berbagai kondisi
walaupun hal itu berisiko, karena kejujuran membawa pada kebaikan dan pada
syurga. Wallahu'alam.