Iman
(agama) seperti diterangkan Nabi SAW dalam hadis sahih, memiliki cabang yang
banyak sekali jumlahnya, mulai dari komitmen tauhid, “Tidak ada Tuhan selain
Allah,” hingga kepekaan terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan, seperti
memungut dan menyingkirkan hambatan di jalan. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Hadis
ini mengajarkan kepada kita bahwa iman pada dasarnya bukan hanya kata-kata yang
diucapkan (kalimatun tuqal), melainkan suatu keputusan yang menuntut tugas dan
tanggung jawab multidimensional, berupa kepatuhan kepada Tuhan (devotional),
kepedulian kepada sesama manusia (sosial), dan keluhuran budi pekerti alias
akhlaq al-karimah (moral).
Menarik
disimak pertanyaan Nabi SAW untuk menguji kadar keimanan para sahabat. Katanya,
“Siapa yang pagi ini puasa?”
“Saya
tuan,” jawab Abu Bakar.
“Siapa
yang hari ini mengantar jenazah?” tanya Nabi lagi.
“Saya
tuan,” jawab Abu Bakar.
Nabi
bertanya lagi, “Siapa yang hari ini memberi makan orang miskin?”
Abu
Bakar pun menjawab, “Saya Tuan.”
Lalu,
Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini menjenguk orang sakit?”
Lagi-lagi
Abu Bakar mengangkat tangan, seraya berkata, “Saya tuan.”
Lalu,
beliau bersabda, “Tak menyatu semua itu pada diri seorang, kecuali ia masuk
surga.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Kisah
ini menarik dan syarat dengan pelajaran. Abu Bakar, sahabat Nabi yang satu ini,
memang istimewa. Ia selalu bersama Nabi di kala suka dan duka. Ia adalah
sahabat yang menemani Nabi SAW di Gua Hira, saat orang kafir, pembunuh bayaran,
mengejar hendak membunuhnya. Ia selalu membenarkan, tanpa ragu sedikit pun,
apa-apa yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi. Maka, gelar al-Shiddiq layak
disandangnya. Ia pun pantas menjadi pengganti Nabi (Khalifah) pertama.
Kisah
ini menunjukkan bahwa jalan menuju Allah itu tidaklah tunggal, melainkan
berbilang (muta`ddidah). Setiap kebaikan sejatinya adalah pintu atau jalan
menuju Tuhan. Setiap orang dapat mengambil pintu atau jalan yang memungkinkan
dirinya “bertemu” Allah, setingkat dengan ilmu, kemampuan, dan pengalamannya
masing-masing.
Kisah
ini juga menunjukkan pilar-pilar kebajikan yang diajarkan Islam. Di antaranya
pilar kepatuhan yang tinggi kepada Allah SWT (ibadah). Dalam kasus ini,
kebajikan itu ditunjukkan dengan ibadah puasa, shalat, dan mengantar jenazah.
Kebajikan ini berdimensi vertikal.
Berikutnya
pilar amal saleh, yaitu kebaikan sosial, yang ditunjukkan melalui kesediaan
memberi makan kepada orang miskin. Kebajikan ini berdimensi sosial dan
horizontal. Lalu berikutnya lagi, adalah pilar akhlak dan keluhuran budi
pekerti, yang ditunjukkan dengan menjenguk orang sakit. Kebajikan ini
berdimensi moral dan sekaligus sosial.
Dalam
Alquran, kebajikan yang diajarkan Nabi SAW seperti diperagakan oleh Abu Bakar
al-Shiddiq itu dinamakan al-Birr, yaitu kebajikan yang lapang dan luas (QS al-Baqarah
[2]: 177).
Kebajikan
di sini menunjuk bukan hanya pada aspek-aspek lahiriah dari agama, melainkan
justru aspek batin (inner aspect) yang menjadi kekuatan penggerak lahirnya
kebaikan sosial (amal saleh) dan kulaitas-kualitas moral (akhlaq al-karimah).
Inilah jalan atau pintu menuju kemulian!
Wallahu a`lam.