Home vs House

Dalam bahasa Inggris, bila seseorang mau pulang, ia berkata “go home” bukan “go house”. Karena “home” mengandung makna psikologi, sedangkan “house” lebih merujuk pada bangunan fisik dan eksterior. Seperti “white house” (gedung putih), sebuah bangunan yang menjadi monumen atau secara fisik hanya untuk tinggal sementara. Sedangkan home adalah tempat hati kita berada.

Betapa pun kita menginap di sebuah istana atau hotel berbintang tujuh, mewah, dan prestisius, dengan pelayanan prima yang khusus, kita tetap akan mengalami home sick, rindu pulang ke rumah.

Hakikatnya jiwa merindukan tempat asal. Betapa pun rombongan burung mampu terbang jauh menari dan berkicau ceria mereguk keindahan dunia, mereka tetap merindukan dahan-dahan pohon tempat mereka beristirahat.

Tubuh yang jasadi dan tampak secara fisik (house, fana, dan sementara) akan hancur dimakan usia, kemudian mendebu menyatu dengan tanah. Sedangkan jiwa yang bersifat rohani (home, baqa’, abadi) akan merindukan kembali ke rumahnya yang asli.

Itulah sebabnya makna inna lillahi wa inna ilaihi rajiun adalah bentuk lain dari sebuah pernyataan kerinduan untuk menapaki jalan kembali ke tempat asal. Akhirnya, setiap mahluk yang bernapas menjumpai pintu-pintu maut untuk memulai perjalanan rohaniahnya, memasuki rumah keabadian.

Berbahagialah mereka yang mampu meraih taman-taman surga, seluruh keluarga mereka akan berkumpul dalam kebahagiaan yang tak terlukiskan. “Surga Adnin yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka dan keturunan mereka, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat mereka dari berbagai pintu” (Al Qur'an [13]: 23)

Ketahuilah, seluruh yang tampak dalam denyut kehidupan dunia, hakikatnya hanyalah tanah-tanah yang diolah. Betapa pun indahnya, mewah, dan memikat, akhirnya akan berkarat dimakan usia dan pasti hancur.

Telah berlalu orang sebelum kita. Mereka lebih menjulang namanya. Rumahnya mewah, wajahnya memikat, dan harta kekayaannya bertumpuk. Tetapi, kini semuanya tersimpan sunyi dalam kenangan. Masa lalu hanyalah impian. Hari esok adalah keabadian dan hari ini adalah kesadaran.

Begitu pula dengan tubuh ini. Ia mengembara di dunia meniti liku-liku waktu menuju ujung perjalanan. Dan, satu saat tertentu berjumpa sekarat kembali ke asalnya, tanah mendebu, muspra, lenyap.

Sedangkan roh, akan mencari jalannya sendiri menuju tempat asalnya di alam roh, yakni suatu alam yang sering secara metaforis digambarkan sebagai langit. Tubuh adalah bumi, roh adalah langit. Sejenak berbenah di dalam rahim, berasal dari misteri, dan akan berakhir menuju misteri.

Jasad kembali ke rahim bumi pertiwi, sedangkan roh akan menyibak jalan yang selama ini menjadi misteri kehidupan, yakni jalan pulang menuju tempat asal, sekaligus menggapai perkampungan yang berlimpah kasih sayang Ilahi. Roh merindukan alamnya, seperti saat pertama roh menyaksikan Ilahi di alam misteri. (Al Qur'an [7]: 172)