Oleh:
Prof Asep S Muhtadi
Suatu
ketika Jibril bertanya kepada Rasulullah SAW tentang iman, Islam, dan ihsan.
Setelah Nabi menjelaskan tentang iman dan Islam, Jibril pun bertanya, ”Apakah
ihsan itu?”
Lalu
Nabi menjelaskannya, ”Engkau beribadah kepada ALLAH seolah-olah engkau melihat
Dia, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu”
Makna
inilah yang kemudian menjadi definisi “ihsan” dan sangat populer digunakan,
baik dalam kehidupan maupun hanya sebatas sumber referensi. Secara implisit
makna tersebut mengisyaratkan pentingnya ikhlas sebagai faktor utama dalam
beramal, seperti terungkap pada kalimat “seakan-akan engkau melihat Dia, dan
apabila engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”
Dalam
kerangka inilah, kerja-kerja kemanusiaan, termasuk usaha mencari nafkah seperti
petani berladang di sawah, pedagang pergi ke pasar, karyawan bekerja di kantor,
guru mengajar di sekolah, atau pemerintah melayani rakyatnya, dapat dinilai
sebagai perbuatan ibadah.
Ibadah
menjadi demikian luas makna dan bentuknya. Karena itu, bukan sesuatu yang
menyulitkan bila tugas manusia memang hanya untuk beribadah, yaitu ibadah dalam
cakupan makna yang sangat luas.
Dengan
demikian, ihsan merambah segala ikhtiar yang mencakup seluruh dimensi
kehidupan, baik ritual maupun sosial. Ihsan harus hadir dalam setiap tindakan.
Dalam
shalat, misalnya, ihsan akan meluruskan motivasi dan kekhusyukan; dalam zakat,
ihsan akan menjadi identitas pengabdian terhadap sesama manusia untuk tulus
menolong kaum yang lemah, menjalin ukhuwah, sekaligus membangun solidaritas
dengan sesama.
Demikian
pula dalam menjalankan roda kekuasaan, ihsan sejatinya tetap hadir sebagai
kekuatan moral yang dapat menggerakkan seluruh potensi spiritual manusia untuk
berbuat hanya karena ALLAH.
Sebaliknya,
dimensi sosial selalu menyertai ihsan karena pada gilirannya ia akan melibatkan
proses hubungan antarsesama manusia sebagai makhluk sosial yang satu sama lain
saling membutuhkan. Jadi, dalam hubungan seperti itulah, ihsan akan terlibat
bersama-sama dengan iman dan Islam yang telah menjadi keyakinan para pelakunya.
Di
sinilah ihsan menjadi potret sempurnanya akhlak. Yaitu, kebajikan yang telah
mentradisi dalam setiap perilaku, memberikan nuansa moral dalam setiap amal,
dan menjadi alat kontrol dalam setiap pengambilan keputusan.
Tidak
ada ruang sedikit pun dalam beramal untuk memanjakan apa pun selain Tuhan.
Dalam proses kekuasaan, rakyat hanyalah jembatan yang menghubungkan penguasa
dengan Tuhannya.
Kekuasaan
yang sifatnya sangat sementara juga tidak lebih dari sekadar fasilitas
pengabdian hanya kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian
dari rakyatnya, dan bukan pula untuk kepentingan pencitraan di hadapan
masyarakatnya.
Ihsan
akan membimbing kita untuk memperoleh kesempurnaan citra di hadapan Tuhan.
Karena itu, berbuatlah dengan tulus, hindari motif-motif pragmatisme yang hanya
akan mengorbankan kepentingan orang banyak. Berihsanlah dalam segala bentuk
perbuatan, termasuk dalam menjalankan roda kekuasaan.
Berbuat
Ihsan
Kehidupan
dunia hakikatnya adalah ujian bagi setiap diri untuk mengetahui secara pasti
siapa di antara kita yang terbaik amalan hidupnya. (Al Qur'an | Al-Mulk:2)
Siapa
yang tidak ingin mendapat predikat terbaik di hadapan ALLAH SWT, tentu semua
orang beriman sangat mendambakannya. Tetapi perlu diingat, bahwa berbuat yang
terbaik menurut ALLAH SWT hanya bisa dilakukan oleh setiap Muslim yang mampu
melakukan amalan-amalan ihsan. Oleh karena itu, mari hiasi diri kita dengan
banyak melakukan amalan-amalan terbaik itu (ihsan).
Dalam
Islam, gradasi ihsan berada di atas Islam dan iman. Oleh karena itu, seorang
Muslim yang mampu berbuat ihsan adalah Muslim yang sangat mulia di hadapan
Allah SWT.
Rasulullah
SAW pernah ditanya oleh Malaikat Jibril terkait arti ihsan. Rasulullah SAW
menjawab, “Ihsan itu adalah kalian menyembah kepada ALLAH seakan-akan kalian
melihat-Nya, kalaupun kalian tidak bisa melihat-Nya maka ketahuilah
sesungguhnya ALLAH Maha Melihat (apa yang kalian kerjakan)”
Artinya,
setiap Muslim diperintahkan berupaya melakukan amalan-amalan terbaik yang
dikehendaki ALLAH SWT dalam situasi dan kondisi apa pun. Inilah yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan beliau menyeru umat manusia
untuk bertauhid kepada ALLAH SWT.
Tatkala
Rasulullah SAW dihina, dicaci maki, dan dimusuhi oleh kaum kafir Quraisy beliau
sedikit pun tidak memiliki rasa dendam kepada mereka. Bahkan, sekiranya ada
kesempatan berbuat baik kepada mereka yang telah menghina dan membecinya itu,
Rasulullah SAW akan selalu berusaha menjadi yang pertama melakukannya.
Seperti
sebuah riwayat yang menuturkan bahwa dahulu ada seorang kafir Quraisy yang
selalu meludahi Rasulullah SAW tatkala beliau lewat di depan rumahnya menuju
Ka’bah. Peristiwa itu berlangsung setiap saat ketika Rasulullah SAW melintasi
rumah orang kafir itu.
Suatu
ketika Rasulullah SAW melintas seperti biasanya, tetapi saat itu tidak ada
ludah yang mendarat di wajah beliau. Sekembali dari ibadah Rasulullah SAW
mencari tahu di mana gerangan orang yang suka meludahinya itu berada.
Ketika
mendengar orang itu sakit, Rasulullah SAW bergegas menjenguk orang yang sangat
membencinya itu. Sang kafir itu pun terenyuh, bingung, sekaligus bahagia
tatkala melihat Rasulullah SAW datang menjenguknya. Di luar dugaan, orang yang
awalnya sangat membenci Rasulullah seketika menjadi sangat cinta kepadanya.
Dalam
Tafsir Fath Al-Qadir, Imam Al-Syaukani menuturkan bahwa suatu ketika Nabi Isa
pernah ditanya tentang pengertian ihsan. Nabi Isa menjawab, “Bukanlah perbuatan
itu disebut ihsan jika kalian membalas kebaikan orang yang berbuat baik
kepadamu, tapi ihsan itu adalah ketika kalian mampu berbuat baik justru kepada
orang yang berbuat jahat kepadamu.
Oleh
karenanya, hendaklah setiap diri bermujahadah (bersungguh-sungguh) untuk mampu
mengerjakan amalan-amalan baik (ihsan) atau melakukan perkara-perakara yang
terbaik (ahsanu amala). Niscaya ALLAH akan memberikan jalan-jalan kemudahan dan
ALLAH akan selalu menyertai kehidupan kita. (Al Qur'an | Al-Ankabuut:69)