Islam
lebih mengutamakan kualitas ibadah dari pada kuantitas ibadah. Sederhana namun
bagus, lebih berharga dari pada banyak namun tanpa nilai. ALLAH berfirman,
"Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya" (QS Al-Kahfi: 7)
Di
ayat lain, ALLAH juga berfirman,
"(Dialah)
yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya" (QS Al-Mulk: 2)
Al-Hafidz
Ibnu Katsir mengatakan,
ALLAH
menguji kalian siapa diantara kalian yang paling bagus amalnya. ALLAH tidak
berfirman, ’siapa yang paling banyak amalnya’ namun yang ALLAH firmankan,
’Siapa yang paling bagus amalnya.’ Dan amal belum disebut bagus, hingga
dikerjakan dengan ikhlas karena ALLAH dan sesuai petunjuk syariat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jika tidak ada salah satu dari dua syarat ini, maka amal itu
statusnya batal dan hilang.
Oleh
karena itu, para ulama sahabat, lebih menyukai bersikap sederhana ketika
beramal. Dari pada berlebihan, namun tidak sesuai sunah. Karena mereka
memahami, kualitas amal lebih diutamakan dari pada kuantitasnya.
Orang
yang mengerjakan tarawih dengan ngebut, sementara mereka tidak bisa
thumakninah, tidak bisa khusyu, tidak bisa menikmati ibadahnya, tidak bisa
menghayati apa yang dibaca imam, merasa sangat tertekan ketika shalat, dst.
semua ini indikasi bahwa shalatnya sangat tidak berkualitas. Jika alasannya
hanya untuk mengejar target puluhan rakaat, berarti dia mengorbankan kualitas,
demi mewujudkan kuantitas. Anda bisa perhatikan, apa yang bisa diharapkan dari
model shalat semacam itu?
Kedua,
lebih dari masalah di atas, orang yang mengerjakan shalat, namun dia tidak
thumakninah, shalatnya batal dan tidak dinilai.
Tuma’ninah
dalam setiap gerakan rukun shalat merupakan bagian penting dalam shalat yang
wajib dilakukan. Jika tidak tuma’ninah maka shalatnya tidak sah. Dalil yang
menunjukkan wajibnya tumakninah, Hadist
Musi’ fi Shalatih (orang yang shalatnya salah). Diceritakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwa suatu ketika ada seseorang yang masuk masjid kemudian shalat dua
rakaat. Seusai shalat, orang ini menghampiri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang saat itu berada di masjid. Ternyata Nabi menyuruh orang ini untuk
mengulangi shalatnya. Setelah diulangi, orang ini balik lagi, dan disuruh
mengulangi shalatnya lagi. Ini berlangsung sampai 3 kali. kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadanya cara shalat yang benar. Ternyata
masalah utama yang menyebabkan shalatnya dinilai batal adalah kareka dia tidak
tumakninah. Dia bergerak rukuk dan sujud terlalu cepat. (HR Bukhari 757,
Muslim 397, dan yang lainnya)
Hadis
dari Hudzifah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah melihat ada orang yang
tidak menyempurnakan rukuk dan sujud ketika shalat, dan terlalu cepat. Setelah
selesai, ditegur oleh Hudzaifah, “Sudah berapa lama anda shalat semacam ini?”
Orang ini menjawab: “40 tahun.” Hudzaifah mengatakan: “Engkau tidak dihitung
shalat selama 40 tahun.” (karena shalatnya batal). Lanjut Hudzaifah, “Jika
kamu mati dan model shalatmu masih seperti ini, maka engkau mati bukan di atas
fitrah (ajaran) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Ahmad 23258, Bukhari 791, An-Nasai 1312,
dan yang lainnya)
Memahami
hal ini, ngebut ketika tarawih, sampai tidak thumakninah ketika mengerjanakan
rukun, seperti terlalu cepat ketika rukuk, i’tidal, sujud, atau duduk diantara
dua sujud, bisa menyebabkan shalatnya batal. Percuma target banyak, namun
ternyata dinilai tidak sah secara syariat.
Sederhana,
namun bisa menikmati, menghayati, dan lebih sempurna, lebih baik dari pada
banyak, namun tidak berkualitas.